I. PANGANTAR
Semua orang
pasti menginginkan untuk dapat memperoleh status dan penghasilan
yang lebih tinggi dari pada apa yang pernah dicapai oleh orang
tuanya. Semua orang pasti menginginkan suatu kehidupan yang serba
berkecukupan, bahkan kalau mungkin berlebihan.
Keinginan-keinginan itu adalah normal, karena pada dasarnya
manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas. Seperti halnya
kalau kita menanyakan tentang cita-cita dari seorang anak, maka ia
akan menjawab pada suatu status yang kebanyakan mempunyai konotasi
pada penghidupan yang baik. Hanya saja apakah keinginan-keinginan,
impian-impian dan cita-cita itu berhasil atau sama sekali gagal
dalam proses perjalanan seseorang itulah yang kita sebut
“Mobilitas Sosial”.
II. KONSEP DAN RUANG LINGKUP MOBILITAS
SOSIAL
Mobilitas
mempunyai arti yang bermacam-macam, pertama, mobilitas
fisik (mobilitas geografis) yaitu perpindahan tempat tinggal (menetap/sementara)
dari suatu tempat ke tempat yang lain. Kedua, mobilitas
sosial yaitu suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke
kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial ini terdiri dari dua tipe,
yaitu mobilitas sosial horisontal dan vertikal. Mobilitas sosial
horisontal diartikan sebagai gerak perpindahan dari suatu status
lain tanpa perubahan kedudukan. Jadi dalam mobilitas sosial
horisontal ini, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan
seseorang. Sedangkan mobilitas sosial vertikat yaitu suatu gerak
perpindahan dari suatu status sosial ke status sosial lainnya,
yang tidak sederajat. Mobilitas sosial vertikai ini jika dilihat
dari arahnya, maka dapat dirinci atas dua jenis, yaitu gerak
perpindahan status sosial yang naik (social dimbing) dan gerak
perpindahan status yang menurun (social sinking). Pengertian
mobilitas sosial ini mencakup baik mobilitas kelompok maupun
individu. Misalnya keberhasiian keluarga Pak A merupakan bukti
dari mobilitas individu; sedang arus perpindahan penduduk secara
bersama-sama (bedo desa) dari daerah kantong-kantong kemiskinan
di P. Jawa ke daerah yang lebih subur sehingga tingkat
kesejahteraan mereka relatif lebih baik dibanding di daerah asal,
merupakan contoh mobilitas kelompok. Ketiga, Mobilitas psikis,
yaitu merupakan aspek-aspek sosial-psikologis sebagai akibat dari
perubahan sosial. Datam hal ini adalah mereka yang bersangkutan
mengalami perubahan sikap yang disertai tentunya dengan goncangan
jiwa.
Konsep
mobilitas tersebut dalam prakteknya akan saling berkaitan satu
sama lain, dan sulit untuk menentukan mana sebagai akibat dan
penyebabnya. Sebagai contoh untuk terjadinya perubahan status
sosial, seseorang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena
ketiadaan lapangan kerja, atau sebaliknya mobilitas sosial
seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografi yang disertai
dengan segala kerugian yang menyakitkan, yakni lenyapnya ikatan
sosial yang sudah demikian lama terjalin. Demikian halnya
mobilitas geografis akan mempengaruhi terhadap mobilitas sosial
yang dimbing maupun sinking, bahkan sekaligus mempengaruhi
mobilitas mental atau psikis dari individu maupun masyarakat.
III. SIFAT DASAR MOBILITAS SOSIAL
Dalam dunia
modern, banyak negara berupaya untuk meningkatkan mobilitas sosial,
dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat mobilitas sosial akan
menjadikan setiap individu dalam masyarakat semakin bahagia dan
bergairah. Tentunya asumsi ini didasarkan atas adanya kebebasan
yang ada pada setiap individu dari latar belakang sosial manapun
dalam menentukan kehidupannya. Tidak adanya diskriminasi pekerjaan
baik atas dasar sex, ras, etnis dan jabatan, akan mendorong setiap
individu memilih pekerjaan yang paling sesuai bagi sendirinya.
Bila tingkat
mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial setiap
individu berbeda, dan tidak ada diskriminasi pekerjaan, maka
mereka akan tetap merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai
kedudukan sosial yang lebih tinggi. Apabila tingkat mobilitas
sosial rendah, maka hal ini akan menyebabkan banyak orang
terkungkung dalam status sosial para nenek moyang mereka.
Tinggi
rendahnya mobilitas sosial individu dalam suatu masyarakat sangat
ditentukan oleh terbuka tidaknya kelas sosial yang ada pada
masyarakat. Pada masyarakat yang berkelas sosial terbuka maka
masyarakatnya memiliki tingkat mobilitas tinggi, sedang pada
masyarakat dengan kelas sosial tertutup, maka masyarakat tersebut
memiliki tingkat mobilitas sosial yang rendah.
IV. BENTUK MOBILITAS SOSIAL
Apabila kita
bicara tentang mobilitas sosial, umumnya dalam benak kita
mempersepsikan tentang terjadinya perpindahan status dari suatu
tingkat yang rendah ke suatu tingkat status yang lebih tinggi;
pada hal mobilitas dapat berlangsung dalam dua arah. Bila kita
amati perjalanan hidup sekelompok individu, maka sebagian ada
yang berhasii mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang
mengalami kegagalan (status lebih rendah), dan selebihnya tetap
pada tingkat status yang dimiliki oleh orang tua mereka.
Manfaat
|
Kerugian
|
Terbukanya
kesempatan bagi individu/ masyarakat untuk mengembangkan
kepribadiaanya.
|
Menimbulkan
kecemasan dan ketegangan yang disebabkan karena mobilitas
menurun
|
Status
seseorang tidak ditentukan oleh diri sendiri yang didasarkan
atas pres tasi, kemampuan dan keuletan.
|
Munculnya
kecemasan dan ketegangan sebagai akibat peran baru dari status
jabatan yang ditingkatkan.
|
Terbukanya
kesempatan untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
|
Terjadinya
keretakan hubungan antar anggota primer, yang disebabkan
karena perpindahan status yang lebih tinggi atau status yang
lebih rendah.
Munculnya
konflik status dan peran, konftik antar kelas sosial, antar
kelompok sosial dan antar generasi
|
Dalam
berbagai kasus menunjukkan bahwa pada umumnya mobilitas mengambil
bentuk dalam dua arah. Tingkat mobilitas individu maupun kelompok
yang menurun maupun naik (meningkat), merupakan salah satu tolak
ukur dari masyarakat yang bersistem sosial terbuka, dan unsur
positif maupun negatif dari sistem pewarisan tidak cukup kuat
menyaingi faktor prestasi sebagai faktor penentu utama dari
kedudukan sosial. Namun demikian apabila dalam kenyataan semua
orang tetap berada pada jenjang kelas sosial orang tua mereka (antar
generasi), ini merupakan tolak ukur dari masyarakat yang bersistem
sosial tertutup, dimana pewarisan status (berkaitan dengan
generasi sebelumnya) lebih menonjol daripada prestasi.
Mobilitas
sosial merupakan suatu fenomenal proses sosial yang wajar dalam
masyarakat yang menjunjung demokrasi. Pada masyarakat ini
mobilitas merupakan suatu hal yang baik, di mana pengakuan
terhadap individu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
dimiliki sangat terbuka lebar, sehingga tidak ada lagi suatu jerat
yang membatasi seseorang untuk menduduki status yang berbeda
dengan generasi sebelumnya. Pada masyarakat yang mobil, disamping
bersifat menguntungkan karena manfaat yang diperoleh dari
mobilitas tersebut, namun demikian juga tetap memiliki konsekuensi
negatif (kerugian). Apa manfaat dan kerugian dari mobilitas sosial?
V. FAKTOR PENENTU MOBILITAS SOSIAL
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terhadap tingkat mobilitas
sosial? Untuk menjawab hal ini tentulah tidak mudah, karena begitu
banyaknya variabel yang menentukan tingkat mobilitas sosial. Dalam
tulisan ini faktor penentu mobilitas sosial dibedakan dalam dua
hal, pertama faktor struktur, yaitu faktor yang menentukan jumlah
refatif dari kedudukan tinggi yang harus diisi dan kemudahan untuk
memperolehnya. Faktor struktur ini meliputi; struktur pekerjaan,
ekonomi ganda (dualistic economics), dan faktor penunjang dan
penghambat mobilitas itu sendiri. Kedua, faktor individu,
dalam hal ini termasuk didalamnya adalah perbedaan kemampuan,
orientasi sikap terhadap mobilitas, dan faktor kemujuran.
5.1. Faktor Struktur
5.1.1. Struktur Pekerjaan
Secara kasar
aktivitas ekonomi dibedakan dalam dua sektor, yaitu sektor formal
dan sektor informal. Kedua sektor tersebut tentunya memiliki
karekteristik yang berbeda, dimana sektor formal memiliki sejumlah
kedudukan mulai dari rendah sampai kedudukan yang tinggi; sedang
sektor informal lebih banyak memiliki kedudukkan yang rendah dan
sedikit berstatus tinggi. Perbedaan aktivitas ekonomi ini jelas
akan mempengaruhi tingkat mobilitas masyarakat yang terlibat di
dalamnya. Demikian halnya pada masyarakat yang aktivitas
ekonominya didominasi oleh sektor pertanian dan penghasilan
bahanbahan baku (pertambangan, kehutanan) lebih banyak memiliki
status kedudukan rendah, dan sedikit kedudukan yang berstatus
tinggi, sehingga tingkat mobilitasnya rendah. Tingkat mobilitas
pada negara-negara maju, mengalami peningkatan seiring dengan
semakin berkembangnya industrialisasi.
5.1.2. Ekonomi Ganda
Dilihat
dari sudut ekonomi, suatu masyarakat dapat ditandai atas dasar
jiwa sosial (social spirit), bentuk-bentuk organisasi dan
teknik-teknik yang mendukungnya. Ketiga unsur itu saling
berkaitan dan menentukan ciri khas dari masyarakat yang
bersangkutan, maksudnya adalah bahwa jiwa sosial, bentuk
organisasi dan teknik yang unggul akan menentukan gaya dan wajah
masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu ketiga unsur ini, dalam
kaitan suatu dengan yang lainya dapat disebut sebagai sistem
sosial, gaya sosial, atau iklim sosial masyarakat yang
bersangkutan. Di negara-negara berkembang ternyata perkembangan
ekonomi menimbulkan beberapa jenis dualisme, yaitu
kegiatan-kegiatan ekonomi dari keadaan-keadaan ekonomi serta
keadaan lainnya daiam suatu sektor tidak mempunyai sifat-sifat
seragam, dan sebaliknya dapat dengan tegas dibedakan dalam dua
golongan. Pertama adalah kegiatan-kegiatan atau keadaan
ekonomi yang masih dikuasai oleh unsur-unsur yang bersifat
tradisional, dan yang kedua adalah berbagai
kegiatan-kegiatan atau keadaan-keadaan ekonomi yang masih
dikuasai oleh unsur-unsur modern. Dualisme ekonomi itu dapat
kita lihat antara sektor pertanian tradisional, yang dicirikan
oleh tingkat produktifitas yang rendah dan menyebabkan tingkat
pendapatan masyarakat berada pada tingkat yang lazim disebut
dengan istilah tingkat pendapatan subsiten. Sedangkan pada
sektor ekonomi modern, dicirikan dengan tipe ekonomi pasar,
dimana kegiatan masyarakat dalam meproduksi sebagian besar
ditujukan untuk pasar. Adanya dualisme ekonomi ini, tentunya
akan mempengaruhi terhadap cepat tidaknya mobilitas itu
berlangsung dan besar-kecilnya kesempatan untuk melakukan
mobilitas.
5.1.3. Penunjang dan Penghambat Mobilitas
Anak-anak
yang berasal dan kelas sosial menengah pada umumnya memiliki
pengalaman belajar yang lebih menunjang mobilitas naik daripada
pengalaman anak-anak kelas sosial rendah. Para sarjana teori
konflik berpandangan bahwa ijazah, tes, rekomendasi, "jaringan
hubungan antar teman (merupakan jaringan hubungan antara
teman-teman dekat dalam suatu jenis profesi atau dunia
usaha. Mereka saling tukar-menukar informasi dan rekomendasi
menyangkut kesempatan kerja, sehingga menyulitkan bagi
orangorang luar" untuk dapat menerobosnya), dan
diskriminasi terang-terangan terhadap kelompok ras maupun
kelompok etnik minoritas, serta orang-orang dari kelas sosial
rendah. untuk melakukan mobilitas-naik; di lain pihak, faktor
penghambat tersebut juga menutup kemungkinan terjadinya
mobilitas-menurun bagi kelompok orang dari kelas sosial atas. Di
samping faktor penghambat, terdapat pula faktor penunjang
mobilitas yang bersifat struktural, sebagai misal adalah adanya
undang-undang anti diskrimiasi, munculnya lembaga-lembaga
latihan kerja baik yang dibiayai oleh pemerintah atau LSM-LSM,
merupakan faktor penunjang penting untuk terjadinya
mobilitas-naik bagi banyak orang dari status sosial rendah.
5.2. Faktor Individu
5.2.1. Perbedaan Kemamuan
Apakah
kemampuan itu? Bagaimana cara mengukurnya? dan Bagaimana
kemampuan mendukung terhadap keberhasilan hidup dan mobilitas?
Adalah merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk
mendapatkan jawaban yang memuaskan semua pihak. Namun demikan,
perbedaan kemampuan yang ada pada masing-masing individu
merupakan salah satu indikator penting yang menentukan
keberhasilan hidup dan tingkat mobilitas.
5.2.2. Perbedaan Perilaku yang Menunjang
Mobilitas
Yang
dimaksudkan dengan perilaku penunjang mobilitas adalah suatu
pandangan atau orientasi sikap individu terhadap mobilitas.
Perbedaan orientasi sikap individu terhadap mobilitas
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan,
kesenjangan nilai, kebiasaan kerja, pola penundaan
kesenangan, kemampuan “cara bermain”; dan pola
kesenjangan nilai.
(a) Pendidikan
Pendidikan
merupakan tangga mobilitas yang utama. Walaupun kadar
penting-tidaknya pendidikan pada semua jenjang pekerjaan
tidaklah sama. Untuk jabatan-jabatan karir seperti dokter, guru,
ahli hukum, dan sebagainya, peran pendidikan sangatlah menunjang.
Tetapi latar belakang pendidikan seseorang mungkin tidak
diperlukan untuk kadar-karir sebagai olahragawan, seniman
penghibur, dll. Namun yang pasti peran pendidikan disini lebih
menenkankan pada upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang
untuk menyalurkan dan memanfaatkan informasi sebagaimana yang
diperlukan.
(b) Kebiasaan Kerja
Kebiasan
kerja seseorang merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan keberhasilan dan masa depan seseorang. Meskipun kerja
keras tidaklah menjamin terjadinya mobilitas-naik, namun
tidaklah banyak orang yang dapat mengalami mobilitasnaik tanpa
kerja keras.
(c) Pola Penundaan Kesenangan
Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian - bersakit-sakit
dahulu. bersenang-senang kemudian". Ini
merupakan
suatu pepatah yang menggambarkan pola penundaan kesenangan (PPK).
Sebagai contoh: orang yang lebih senang menyimpan uangnya untuk
ditabung dari pada untuk kesenangan jangka pendek; para siswa,
yang lebih tekun membaca buku dan memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya, dari pada bermain kartu atau membuang-buang
waktu. ini adalah contoh penerapan pola penundaan kesenangan.
Kunci dari pada PPK adalah adanya perencanaan untuk masa depan
dan adanya keinginan yang kuat untuk merealisasikan rencana
tersebut.
(d) Kemampuan "Cara Bermain"
"Cara
bermain" dan atau seni "penampilan diri" mempunyai peran penting
dalam mobilitas-naik. Bagaimana menjadi orang yang sangat
disenangi dan dapat diterima oleh lingkungannya; bagaimana
menjadi orang yang dapat bekerjasama dengan orang lain. Ini
semua mungkin merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kebehasilan penampilan diri secara positif bukanlah berarti
meremehkan kemampuan, namun justru melalui penampilan diri
merupakan sarana/media yang dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan
kemampuan.
(e) Pola Kesenjangan Nilai
Pola
kesenjangan nilai merupakan suatu perilaku dimana seseorang
mempercayai segenap nilai yang diakui, tetapi tidak melakukan
upaya untuk mencapai sasarannya atau mengakui kesalahan pribadi
sebagai penyebab kegagalannya dalam mencapai sasaran. Qrang
semacam ini bukanlah hipokrit, tetapi mereka hanya tidak
menyadari bahwa pola perilakunya tidak searah dengan tujuannya.
Sebagai contoh: hampir semua orang tua menginginkan anak-anaknya
mempunyai prestasi yang baik di sekolah, tetapi mereka
mengabaikan nasihat-nasihat guru dan tidak menekankan agar
anak-anaknya belajar dengan baik di rumah.
(f) Faktor Keberuntungan/ Kemujuran
Banyak
orang yang benar-benar bekerja keras dan memenuhi semua
persyaratan untuk menjadi orang yang berhasil, namun tetap
mengalami kegagalan; sebaliknya, keberhasilan kadangkala justru
"jatuh" pada orang lain yang jauh persyaratan. Faktor kemujuran/keberuntungan
ini jelas tidak mungkin dapat diukur dan merupakan alasan umum
bagi suatu kegagalan, namun faktor ini tetap tidak dapat
dipungkiri sebagai salah satu faktor dalam mobilitas.
VI. PENUTUP
Dalam
beberapa pembahasan di atas, lebih banyak berkisar tentang
determinan (faktor penentu mobilitas-naik). Bagaimana dengan
diterminan mobilitas-menurun? Pada dasarnya semua faktor penentu
mobilitas-naik adalah juga sebagai faktor penentu mobilitas
menurun. Sebagai contoh adalah faktor struktur, pada saat negara
Indonesia mengalami krisis ekonomi maka banyak perusahaan
mengalami gulung tikar, terjadi stagnasi ekonomi dan penurunan
produktifitas, serta penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi,
kondisi krisis yang dialami negara kita ini cenderung akan
meningkatkan jumlah orang yang harus kehilangan status sosial.
Adapun faktor-faktor individu seperti pendidikan, kebiasan kerja;
keberuntungan-menentukan siapa yang harus mengalami penurunan
status.
sumber: http://roykesiahainenia.i8.com